Bagi mahasiswa era 90-an, siapa yang tidak kenal Sinead O’Connor? Buat anak muda saat itu, siapa yang tidak ikut berdendang ketika mendengar lagu “Nothing Compares 2 U“? Kalau ada yang tidak tahu, kemungkinannya hanya dua: kuper atau memang tidak menyukai lagu-lagu pop Barat.
Sinead Marie Bernadette O’Connor (1966-2023), begitulah nama lengkapnya, adalah penyanyi kelahiran Dublin, Irlandia. Penyanyi yang dikenal sebagai perempuan berkepala gundul ini memutuskan menjadi muallaf di tahun 2018. Dia mengganti namanya menjadi Shuhada Sadaqat dan memakai kerudung hingga akhir hayatnya.
Dalam sebuah wawancara, dia menjelaskan prosesnya menjadi seorang Muslimah:
In Islam you don’t call it conversion. You call it reversion. The idea is you were born Muslim in the first place. That it any person with any logic would realize they were Muslim all along so that’s actually what happened to me. I’ve been a theologian all my life. Studying theology, but I never thought that I would join any particular religion. But because I grew up in piocracy, I wes very interested in theology. So I studied all the different religions. And I actually left Islam to last because I had such a huge amount of prejudice about it actually. But as soos as a read Chapter 2, I was like oh my God, I’ve been a Muslim my whole life and I didn’t even realize it. So being a Muslim is like Qur’an that makes you feel that well because it exists.
(Di dalam Islam, [peristiwa masuknya seseorang kepada Islam] tidak disebut dengan istilah konversi atau pindah agama, tapi reversi atau kembali. Ide dasarnya adalah bahwa setiap manusia terlahir sebagai Muslim. Jika ada orang yang berdasarkan kesimpulan logisnya menyadari bahwa pada hakikatnya dia adalah seorang Muslim, itulah sesungguhnya yang terjadi padaku. Di sepanjang hidupku, aku adalah seorang teologian. Aku belajar teologi sekalipun aku tidak pernah berpikir akan memeluk agama tertentu. Aku tumbuh dalam lingkungan yang agamis sehingga membuatku tertarik dengan teologi. Aku belajar teologi beragam agama. Sejujurnya, aku meletakkan Islam dalam urutan paling akhir untuk dikaji karena aku memiliki prasangka yang cukup besar terhadap Islam. Tapi begitu aku membaca al-Qur’an, baru sampai juz 2 saja, aku merasa seperti, Oh Tuhan, aku ternyata sudah menjadi seorang Muslimah selama ini tanpa menyadarinya. Menjadi seorang Muslim/ah adalah sebagaimana yang kita temukan dalam al-Qur’an, ia membuatmu merasa “tepat” karena memang begitulah adanya).
Sinead O’Connor adalah simbol perlawanan dan pemberontakan atas berbagai norma dan ajaran yang didoktrinkan padanya. Rambut plontosnya adalah caranya melakukan penyempalan atas standarisasi perempuan cantik.
Kisahnya bermula dari pembangkangan terhadap ibunya yang selalu menjelek-jelekkan kakak perempuannya hanya karena berambut merah sambil memuji Sinead sebagai perempuan cantik dengan rambut indah. Sinead akhirnya memelontos rambutnya untuk melindungi kakaknya.
Saat mengawali karier sebagai penyanyi pada 1987, label rekaman tempatnya bernaung meminta Sinead memanjangkan rambutnya agar tampak feminin. Bukannya menuruti, dia pergi ke tukang cukur dan menggunduli rambutnya. “Saya tak ingin menjadi cantik,” kata penyanyi yang merobek foto Paus Yohanes Paulus II saat tampil live di “Saturday Night“ Oktober 1992. Dalam wawanca bersama The Sun di tahun 2022, Sinead menyatan, “Saya tidak akan membiarkan pria mana pun memberitahu apa yang harus saya lakukan, atau ingin saya menjadi siapa.”
Saya tak ingin membahas penyanyi yang dikenal sebagai perempuan cerdas, berpendirian keras dengan visi hidup yang sangat kuat. Berita tentang berbagai protesnya hingga kematiannya sebagai seorang Muslimah dengan nama Shuhada Sadaqat menghiasi hampir seluruh media seantero jagad. Saya tertarik dengan pengakuannya yang menjadikan Islam sebagai pilihan terakhir untuk dipelajari. Pilihan terakhir yang mengantarkannya sebagai Muslimah dan mendekap teguh keimanannya hingga akhir hayatnya.
Shuhada (dari titik ini, saya akan menulisnya dengan nama ini karena demikianlah yang diinginkannya) adalah potret umum non-Muslim Barat dalam memandang Islam saat ini. Pandangan mereka dipenuhi prasangka. Islam bukanlah agama yang layak untuk ditengok, apalagi dipeluk. Bahkan bagi seorang Shuhada yang dengan tulus mencari kebenaran pun Islam tidak cukup menarik untuk dipelajari.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa? Jika kecurigaan ini lahir dari bias-atas-sang-liyan, bukankah dia sejak awal dengan tulus membuka diri untuk mempelajari beragam ajaran agama? Sangat mungkin kecurigaan yang sangat besar ini lahir dari kelakuan umat Islam sendiri yang membuat Islam tampak sebagai agama yang kumal dan mengerikan.
Marilah kita ambil contoh. Jika pendidikan adalah ukuran sebuah peradaban, manakah negeri penduduk mayoritas Muslim yang memiliki pendidikan yang membanggakan? Jika orang memeluk suatu agama berharap mendapatkan kedamaian, mengapa negara-negara mayorita Muslim dipenuhi dengan konflik dan peperangan?
Bagi orang seperti Shuhada yang sepanjang hidupnya jatuh bangun mencari kebenaran yang bisa dipeluknya, gambaran umat Islam saat ini sungguh tidak bisa menjadi pintu masuk untuk mengenali Islam. Untunglah dia tetap maju dan mengambil keputusan berani untuk membaca al-Qur’an.
Ada sebuah ungkapan yang sangat terkenal dari Muhammad Abduh: al-Islam mahjubun bi al-muslimin ([Keindahan ajaran] Islam tertutupi oleh [kelakukan] umat Islam). Kenyataan inilah yang membuat orang-orang di luar sana dipenuhi prasangka dalam memandang Islam.
Bagaimana mungkin orang lain membayangkan Islam mengajarkan toleransi dan perdamaian jika umat Islam berlaku intoleran dan membenarkan kekerasan dengan dalil-dalil agama. Bagaimana mungkin orang lain membayangkan Islam mengajarkan penghormatan terhadap ilmu, jika yang terjadi justru sebaliknya. Marilah kita menderetkan beribu-ribu kebaikan Islam, lalu lihatlah realitas umat Islam saat ini. Kita sepenuhnya bisa memaklumi mengapa seorang Shuhada meletakkan Islam sebagai pilihan terakhir untuk dipelajari.
Sebelum kita kecewa, atau bahkan marah, ke orang lain mengapa mereka tidak bisa mengapresiasi Islam, marilah kita mengaca. Apakah kelakuan kita telah mencerminkan Islam kita? Ini bukan semata-mata tentang agar orang lain memeluk Islam. Bukan! Bahkan Nabi Muhammad pun tidak bisa meng-Islamkan pamannya. Ini tentang konsekuensi logis dalam ber-Islam.
Jika kita tidak bisa memberi sumbangan untuk kejayaan Islam, setidaknya kelakuan kita tidak merendahkannya. Jangan karena kelakuan kita membuat orang lain meletakkan Islam di gudang belakang, tempat menaruh barang rongsokan yang tak layak untuk disentuh.