Politik Identitas: Mudharat Dan Logika Politik

waktu baca 7 menit
Rabu, 8 Feb 2023 09:25 0 122

Kita memasuki tahun politik (2023-2024) dimana suhu politik akan meningkat, sebab semua mesin politik sudah mulai dihidupkan.  Atmosfir konstelasi politik akan dipenuhi dengan hiruk pikuk dan gonjang-ganjing manuver Partai Politik, elit kekuasaan, oligarkhi dan para kandidat.  Memasuki tahun politik, seperti apa suasana kebatinan yang harus kita siapkan, agar kita tidak baperan.  Salah satu yang ramai diperbincangkan, sekaligus dibimbangkan adalah kekhawatiran penggunaan politik identitas.  Dimana elit memainkan preferensi suku dan agama sebagai komoditas politik. 

Politik identitas dianggap sebagai momok karena dianggap dapat memecah belah persatuan bangsa. Karena latar primordial (agama dan suku) bukan untuk dibentur-benturkan.  Memainkannya sangat beresiko.  Isu primordial dapat menumbuhkan sentimen yang tidak rasional (irrational sentiment).  Karena orang akan dengan sangat mudah tersulut sentimen manakala berurusan dengan isu agama dan suku.  Semestinya pendulum politik harus bergerak ke arah yang lebih rasional dan pragmatis (meritokrasi).  Pilihan politik harus didasarkan pilihan rasional, berdasarkan prestasi, kinerja, komitmen dan keberpihakan kepada kepentingan umum.  Bukan memantik sentimen berdasarkan kesamaan agama ataupun suku.

Di negara-negara maju (develoved countries) merit system telah berjalan dengan baik.  Sehingga seseorang tidak lagi berkutat pada latar belakang primordial dalam memberikan penilaian dan pilihan.  Setiap warga negara bisa saja menduduki posisi strategis sepanjang dianggap memiliki kapasitas untuk kedudukan tersebut. Namun demikian bukan berarti politik identitas tidak ada sama sekali pada masyarakat maju.  Dalam satu kondisi tertentu, politik identitas dapat saja muncul sebagai anti thesa terhadap realitas politik tertentu.  Seperti misal, naiknya Donald Trumph sebagai Presiden Amerika, tidak lepas dari praktek politik identitas yang dimainkannya dengan mengelindingkan isu populisme seperti imigran Timur Tengah.  Hal serupa dimainkan oleh Rasmus Paludan dengan partai sayap kanannya, yang memainkan isu anti terhadap Islam, dengan berkali-kali membakar Al Quran.   Harapannya dapat memantik sentimen konstituen dan kemudian mengkapitalnya menjadi perolehan suara.

Pragmatisme politik seringkali menarik pendulum politik identitas, sepanjang dapat memberikan dampak elektabilitas.  Ibarat pasar bebas politik, ia akan laku jika ada pembelinya.  OIeh karenanya, dalam persfektif politik praktis, menjadi rasional menggunakan politik identitas sepanjang konstituen masih menggunakan preferensi primordial sebagai dasar preferensi politiknya.  Menjadi tidak realistik, jika preferensi publik masih di aras primordial, namun tidak dimanfaatkan secara optimal.  Karena sebagian besar masyarakat  Indonesia masih belum sepenuhnya beranjak dari preferensi primordial tersebut.   Prediksi penulis, pada tahun politik ini fenomena serupa akan terus menerus muncul.

Walau demikian, kita tidak boleh kehilangan optimisme.  Upaya untuk untuk mendorong pendulum politik identitas ke politik rasional harus terus dilakukan.  Setidaknya karena 3 alasan, yaitu; Pertama terkait dengan kualitas demokrasi; Kedua terkait dengan mudharat yang ditimbulkan; dan Ketiga dalam rangka menjaga keutuhan integrasi bangsa.   Pertama, salah satu indikator dari kualitas demokrasi adalah bagaimana proses politik menjadi lebih rasional, berorientasi pada substansi, kualitas dan komitmen atas kepentingan bersama.  Ekspektasinya melalui proses politik yang lebih rasional (meritokratik) akan menghasilkan para pemimpin yang berkualitas dan kompeten.   Siapapun warga negara memiliki hak yang sama untuk menduduki berbagai jabatan publik, sepanjang memiliki kapasitas dan integritas.

Kedua, mudharat dari politik identitas, akan menyebabkan tajamnya pembelahan dalam masyarakat.  Masyarakat akan terbelah karena sentimen suku dan agama.  Kemudian, jika terjadi benturan, maka konflik kekerasan akan semakin masif, karena konflik akan bergeser dari konflik pragmatis menjadi konflik primordial yang daya hancurnya akan lebih besar dan menakutkan.  Seringkali orang mudah memainkan “apinya”, namun akan sukar memadamkan “kobarannya”,

Ketiga, pada akhirnya politik identitas potensial mengancam integrasi bangsa.  Padahal dari sejak awal kita sudah berkomitmen untuk menjadi satu bangsa (NKRI) dengan semboyan bhenika tunggal ika (unity in diversity).   Perbedaan kita (baik agama, suku, bahasa dan asal daerah) adalah kekayaan dan modal sosial yang diakui dan terus dipelihara.   Karena tidak mudah mengelola sebuah bangsa dengan takdir kemajemukan seperti Indonesia.  Oleh karenanya, semua kita harus menyadari bahwa, jangan pernah “bermain-main” dengan persoalan primordial.

Atas pertimbangan tersebut, maka propaganda menolak politik kekerasan dan politik identitas menguat akhir-akhir ini.  Upaya ini tidak akan banyak membuahkan hasil, jika tidak menjadi gerakan bersama semua anak bangsa.  Mulai dari para elit, birokrasi, aparat juga sampai kepada masyarakat akar rumput (grass root).   Peran tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh wanita dan mahasiswa adalah pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam upaya propaganda politik anti kekerasan dan politik identitas.  Melalui upaya masif tersebut diharapkan muncul kesadaran bersama antara elit, kelas menengah dan akar rumput.  Memang pekerjaan ini tidak mudah, seperti yang dikatakan sebelumnya, pilihan politik identitas seringkali masih menjadi pilihan rasional dalam semesta politik praktis Indonesia.

Oleh karenanya diperlukan kerja sistematis untuk mengkampanyekan politik anti kekerasan dan politik identitas.  Berikut adalah beberapa strategi yang dapat kita lakukan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Pertama, menaikkan “selera politik” masyarakat, yaitu dengan cara menumbuhkan kesadaran bahwa politik bukan sekedar perolehan suara dan perebutan kekuasaan, namun politik adalah peristiwa kebudayaan untuk mewujudkan keadaban dan mewujudkan tatanan yang lebih baik. Kita ingin dari hari ke hari politik semakin beradab dan bermartabat.  Oleh karenanya, kita tidak boleh kalah dengan logika sempit segelintir orang yang merendahkan politik.  Untuk meninggikan selera politik publik, maka ruang dialektika politik harus semakin lebar.  Politik delebiratif harus didorong lebih massif. Dengan demikian publik bukan lagi sekedar menjadi objek penderita dari politik dan kekuasaan, akan tetapi menjadi pemeran utama proses berdemokrasi.

Kedua, Meninggikan standar preferensi pemilih, dari pilihan primordial kepada pilihan rasional (meritokrasi) dengan melakukan pendidikan politik secara massif.  Jalur pendidikan politik tidak hanya secara formal, seperti yang selama ini banyak dilakukan.   Semua stake holder harus mengambil peran ini.  Perguruan Tinggi harus memberikan pendidikan politik untuk para mahasiswa.  Birokrasi pemerintah harus melakukan pendidikan politik bagi para ASN.  Tokoh agama harus menjadikan tema pendidikan politik menjadi tema-tema khutbah dan ceramah keagamaan.  Para tokoh masyarakat dan tokoh adat juga harus menyuarakan hal yang sama sampai ke akar rumput.  Termasuk juga bagi kalangan pemuda dan kelompok perempuan.  Dengan demikian wacana politik anti kekerasan dan politik aliran mengalir sampai ke level terbawah dalam masyarakat.  Isu ini harus dibumikan, bukan lagi jadi isu yang elitis.

Ketiga, Para elit politik, Pimpinan Partai, Caleg harus punya kehendak dan komitmen yang kuat untuk tidak menggunakan dan membenarkan penggunaan kekerasan dalam proses politik. Termasuk juga tidak menggunakan atau mengeksploitasi isu primordial untuk kepentingan politik praktis. Semuanya harus berkontestasi pada aras prestasi, gagasan, ide, program dan komitmen untuk bangsa dan masyarakat.  Komitmen ini tidak cukup hanya sekedar deklarasi lip service akan tetapi harus menjadi gerakan, menjadi koridor dan instrumen kontrol terhadap kegiatan politik.  Karena yang paling potensial menunggangi isu primordial atau politik aliran adalah para elit politik.  Para elit harus berkontribusi terhadap proses pemintaran konstituen dan proses katrol terhadap indeks kualitas penyelenggaraan demokrasi di tanah air.

Keempat, peran media massa dan propaganda via media sosial juga mutlak diperlukan, setidaknya untuk dua keperluan yaitu meningkatkan literasi netizen tentang politik anti kekerasan dan politik aliran di satu sisi, dan meng-counter kampanye politik aliran yang banyak lalu lalang di media sosial.  Para wartawan dan penggiat media sosial harus menjadi gerakan kolektif mewujudkan agenda ini.  Langkah Dirjend Diktis Kementerian Agama membuat sindikasi media PTKIN adalah sebuah gagasan yang menarik dan sangat relevan. Menjadi gerakan kolektif dan massif mengkampayekan hal-hal yang kontruktif sekaligus menjernihkan segala kesalah pengertian yang sering kali timbul.

Jika upaya pelibatan semua pihak ini dapat berjalan dengan lancar, maka penulis berkeyakinan sedikit banyak akan berimbas positif terhadap proses politik pada tahun-tahun politik mendatang.  Kita berharap dapat melewati tahun politik kali ini dengan aman, damai, lancar dan menghasilkan para anggota legislatif dan eksekutif yang berkualitas dan kompeten untuk memimpin dan memajukan bangsa.

Ditulis oleh Eka Hendry Ar: Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) IAIN Pontianak.

Artikel ini telah dimuat di Pontianak Post, 8 Februari 2023

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *