Makmeugang atau yang juga biasa disebut dengan meugang, merupakan salah satu tradisi masyarakat Aceh dalam memuliakan tiga momentum penting dalam ajaran agama Islam. Dilaksanakan tepat satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan (meugang puasa), hari terakhir berpuasa atau satu hari sebelum memasuki hari raya Idul Fitri (meugang uroe raya puasa), dan sehari sebelum Idul Adha (meugang uroe raya haji).
Tradisi makmeugang hampir-hampir mirip dengan ritual penyembelihan hewan kurban pada setiap peringatan hari raya Idul Adha dalam ajaran agama Islam. Perbedaannya terletak pada sebab dan tujuan yang melatari terlaksananya tradisi tersebut. Jika penyembelihan yang terjadi disetiap memperingati hari raya Idul Adha adalah pengorbanan yang diwajibkan agama atas orang-orang yang memiliki kemampuan lalu kemudian membagikan sebagian dari hasil sembelihan tersebut kepada fakir miskin, adapun tradisi makmeugang ini lebih dilatari oleh rasa sosial dan kekeluargaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Menurut sumber tertulis, tradisi ini berawal sejak zaman Kesultanan Aceh pada sekitar abad XVII, atau pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu sultan mengadakan acara penyembelihan ternak sapi dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian dagingnya dibagikan keseluruh rakyatnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran dan kesejahteraan negeri yang dipimpinnya dan sekaligus sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih sultan kepada rakyatnya yang telah mengabdi dan terus mendukung pemerintahannya.
Seiring perputaran waktu, oleh Sultan, tradisi makmeugang ini pada akhirnya terlembagakan dengan baik, prosesi pelaksanaan makmeugang ini tertuang dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-undang Kesultanan Aceh). Qanun/undang-undang yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan makmeugang. Diawali dengan melaksanakan pendataan jumlah fakir miskin dan yatim piatu yang berhak mendapatkan daging pada saat hari makmeugang sebulan sebelum masuknya bulan suci Ramadhan. Bahkan tersebut juga bahwa Sultan juga pernah memerintahkan para Uleebalang untuk menyubsidi masyarakat miskin yang tidak sanggup untuk membeli daging pada saat hari makmeugang. Jadi, awal munculnya tradisi makmeugang ini adalah dikarenakan adanya campur tangan kesultanan pada masa itu, merekalah yang menghidupkan tradisi makmeugang di tengah-tengah masyarakat Aceh.
Selepas runtuhnya Kesultanan Aceh pada awal abad XX (1903), secara otomatis tidak ada lagi lembaga resmi yang mengatur tentang tradisi makmeugang ini. Tradisi ini tetap hidup dan bertahan akan tetapi mengalami pergeseran-pergeseran. Jika pada masa kesultanan dahulu yang menanggung seluruh biaya pengadaan hewan-hewan sembelihan tersebut (sapi atau kerbau) adalah pihak kesultanan, namun pada masa setelahnya masyarakatlah yang menanggung biaya tersebut, baik secara urunan ataupun sendiri-sendiri.
Bagi masyarakat Aceh, makmeugang merupakan momentum penting yang harus dirayakan walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Sudah menjadi kebiasaan, jauh-jauh hari mereka akan mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi menyambut tradisi makmeugang ini, tidak terkecuali orang yang sangat miskin sekalipun.
Begitu juga dengan masyarakat Aceh di perantauan, pada saat hari ini menjelang mereka akan berupaya agar dapat merayakan makmeugang di kampung halaman bersama dengan orang tua dan keluarga. Memanfaatkan momentum makmeugang untuk kumpul bersama, saling mengunjungi sanak keluarga sambil membawakan hidangan daging, dan bersantap bersama keluarga terutama pada saat santap sahur bersama di malam pertama bulan suci Ramadhan. Saat seperti inilah akan terasa sebuah nilai kebersamaan tersebut.
Dalam pandangan masyarakat Aceh, lauk pauk daging yang terhidang saat makmeugang merupakan makanan spesial, bukan hanya dikarenakan harganya yang mahal, akan tetapi nilai kebersamaan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, sebagai bentuk rasa suka cita dalam menyambut bulan suci Ramadhan dan dua hari raya Islam (Idul Fitri dan Idul Adha), masyarakat Aceh merayakannya dengan tradisi memasak daging.
Melalui pengajuan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh) pada Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2016 yang diselenggarakan oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudyaan, Kemdikbud, pada tanggal 16 September 2016 yang lalu, tradisi Makmeugang ini telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) milik Indonesia yang berasal dari Provinsi Aceh. Langkah ini dianggap tepat mengingat aspek-aspek nilai kebaikan yang terkandung dalam tradisi makmeugang ini.
Tidak ada komentar